Rencana Pembangunan 4 Batalyon TNI di Aceh Tuai Penolakan: DPP Muda Seudang Minta Evaluasi Sesuai MoU Helsinki
![]() |
Ilustrasi Rencana Pembangunan 4 Batalyon TNI di Aceh/ |
TACAKAP | BANDA ACEH — Rencana pembangunan empat Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) oleh TNI di wilayah Kodam Iskandar Muda mulai memantik polemik.
Meski bertujuan memperkuat pertahanan nasional, langkah tersebut justru ditolak oleh sejumlah elemen masyarakat sipil, salah satunya Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Muda Seudang Aceh.
Empat wilayah yang rencananya akan menjadi lokasi pembangunan batalyon ini adalah Kabupaten Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil.
Namun, menurut DPP Muda Seudang Aceh, penambahan satuan militer ini dinilai berpotensi melanggar prinsip-prinsip perdamaian yang telah disepakati dalam MoU Helsinki.
“Kami menilai rencana pembangunan ini perlu ditinjau ulang. Aceh tidak membutuhkan tambahan personel TNI. Keberadaan TNI di Aceh sudah diatur secara tegas dalam MoU Helsinki,” ujar Juru Bicara DPP Muda Seudang, Muhammad Chalis, Senin (28/4/2025).
MoU Helsinki dan Pembatasan Personel TNI
Chalis menekankan bahwa pasca relokasi pasukan non-organik pada 15 September 2005, jumlah personel organik TNI yang boleh tetap berada di Aceh dibatasi maksimal 14.700 orang.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam Klausul 4.11 MoU Helsinki, yang menjadi landasan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Pusat.
“Meskipun niatnya untuk memperkuat pertahanan, pembangunan BTP justru bisa mengganggu keseimbangan keamanan dan memicu kegelisahan publik jika tidak mengindahkan isi MoU,” tambahnya.
UU Pemerintahan Aceh: Penambahan TNI Harus Prosedural
Penolakan ini juga diperkuat oleh dasar hukum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), khususnya:
-
Pasal 203 ayat (1): Penempatan kekuatan TNI di Aceh dilakukan secara proporsional.
-
Pasal 203 ayat (2): Personel TNI di Aceh hanya ditujukan untuk pertahanan negara, bukan tugas keamanan dalam negeri.
-
Pasal 203 ayat (3): Penambahan kekuatan TNI organik harus mendapat persetujuan Pemerintah Aceh.
Menurut Chalis, pembangunan batalyon tanpa mengacu pada pasal-pasal tersebut berpotensi mencederai kesepakatan damai yang telah dijaga selama hampir dua dekade.
Minta Evaluasi dan Fokus pada Kebutuhan Masyarakat
Lebih lanjut, DPP Muda Seudang Aceh mendesak Kementerian Pertahanan RI untuk mengevaluasi kebijakan pembangunan ini. Mereka menekankan bahwa yang dibutuhkan masyarakat Aceh saat ini bukan tambahan kekuatan militer, melainkan kebijakan pusat yang lebih menyentuh persoalan strategis rakyat.
“Kami tidak butuh pasukan tambahan, tapi butuh perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat. Fokuskan pada peningkatan taraf hidup rakyat Aceh, bukan penambahan batalyon,” tegas Chalis, yang juga merupakan Magister Ilmu Politik lulusan Universitas Malikussaleh.
Rencana pembangunan empat Batalyon Teritorial Pembangunan di Aceh menjadi isu yang tidak bisa dianggap remeh. Di satu sisi, pembangunan ini membawa misi strategis pertahanan.
Namun di sisi lain, jika tidak diiringi dengan kajian mendalam dan menghormati MoU Helsinki serta UUPA, maka kebijakan ini justru berisiko mengganggu kestabilan perdamaian yang telah dirintis selama hampir 20 tahun.
Transparansi, partisipasi publik, dan penghormatan terhadap hukum adalah kunci agar setiap kebijakan pertahanan di Aceh tidak menimbulkan konflik baru.