Polemik Memanas, Empat Pulau di Aceh Beralih ke Sumut: DPR dan DPD Aceh Desak Evaluasi Mendagri
Empat pulau yang selama ini diyakini sebagai bagian dari wilayah Provinsi Aceh kini secara resmi masuk ke wilayah administrasi Sumatera Utara. Keputusan ini tertuang dalam Surat Keputusan Kementerian Dalam Negeri tertanggal 25 April 2025 tentang pemutakhiran kode dan data wilayah administrasi pemerintahan. Keempat pulau tersebut adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil yang kini berada dalam lingkup administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah.
Perpindahan ini sontak menimbulkan kegaduhan di kalangan masyarakat Aceh, terutama di media sosial. Gelombang protes dan ekspresi kekecewaan membanjiri jagat maya. Meski belum ada aksi massa di Aceh, sejumlah pihak mengabarkan bahwa demonstrasi menolak keputusan ini tengah direncanakan di Jakarta. Isu ini juga memancing perhatian para wakil rakyat asal Aceh di Senayan. Salah satunya, anggota DPR RI dari Dapil Aceh, Nasir Jamil, menyayangkan langkah yang diambil pemerintah pusat dan menilai kebijakan ini tidak berpihak pada aspek historis dan yuridis.
Menurut Nasir, dalam berbagai peta peninggalan masa lalu, termasuk peta Belanda dan peta resmi terakhir, empat pulau tersebut teridentifikasi sebagai bagian dari Aceh, tepatnya dari wilayah Kabupaten Aceh Singkil. Bahkan, polemik mengenai klaim administratif atas pulau-pulau ini disebut sudah berlangsung selama hampir dua dekade dan pernah menyentuh pembahasan di level internasional seperti PBB. Ia juga menyebut bahwa pemerintah pusat sudah cukup lama berupaya menentukan koordinat dan batas wilayah pulau-pulau tersebut, namun keputusan final yang diambil Mendagri tetap menuai banyak kritik.
Para wakil rakyat dari Aceh di DPR dan DPD RI pun tidak tinggal diam. Mereka tengah menyiapkan langkah-langkah konkret dan mendesak Kementerian Dalam Negeri untuk mengevaluasi keputusan yang ada. Bahkan, pada malam yang sama usai wawancara dilakukan, para legislator Aceh dijadwalkan menggelar pertemuan dengan Gubernur Aceh dan jajaran pejabat daerah untuk merumuskan langkah strategis dalam upaya mengembalikan status empat pulau itu ke Aceh.
Situasi ini diperkeruh dengan munculnya kabar mengenai potensi migas di kawasan perairan sekitar empat pulau tersebut. Dugaan adanya blok migas bernama Singkil dan Sibolga semakin mempertebal kecurigaan publik bahwa faktor sumber daya alam menjadi salah satu motivasi di balik perpindahan administratif ini. Terlebih, diketahui bahwa kunjungan gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution dan politisi Masinton Pasaribu ke Aceh beberapa waktu lalu sempat membahas potensi kerja sama dalam pengelolaan blok migas tersebut. Ini memicu kecurigaan bahwa langkah administratif ini berpotensi menguntungkan pihak tertentu di luar Aceh.
Namun begitu, belum ada pernyataan resmi dari SKK Migas terkait keberadaan maupun besaran potensi migas di wilayah itu. Di sisi lain, Gubernur Sumatera Utara menyebut bahwa fokus utama terhadap keempat pulau tersebut adalah pada pengembangan sektor pariwisata, bukan migas.
Menurut Nasir Jamil, meski pulau-pulau tersebut tak berpenghuni secara permanen, sejumlah aset seperti rumah singgah, musala, dan batu prasasti telah ada di sana. Bahkan beberapa bidang lahan disebut sudah memiliki sertifikat kepemilikan yang dikeluarkan atas nama warga Aceh. Fakta ini memperkuat keyakinan bahwa secara administratif dan historis, empat pulau itu seharusnya berada dalam wilayah Provinsi Aceh.
Pemerintah pusat disebut telah membuka ruang dialog terkait persoalan ini. Kementerian Dalam Negeri dijadwalkan akan menggelar pertemuan pada 17 Juni 2025 bersama kementerian dan lembaga terkait, termasuk perwakilan dari Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Tujuannya adalah mengevaluasi keputusan dan menelusuri kembali proses penetapan batas wilayah yang memicu polemik ini.
Dengan adanya ruang diskusi dan evaluasi tersebut, masyarakat Aceh berharap bahwa keempat pulau itu bisa kembali ke pangkuan provinsi mereka. Langkah ini juga dinilai penting untuk menjaga hubungan harmonis antara pemerintah pusat dan daerah. Masyarakat dan para wakil rakyat Aceh saat ini terus menggalang dukungan agar hak wilayah tersebut dapat dikembalikan sebagaimana mestinya.