-->
24 C
id

Aceh Bergejolak! Bendera Bintang Bulan Berkibar dan Seruan Referendum Menggema di Tengah Aksi Protes Empat Pulau Singkil

 

4 pulau aceh

Suasana halaman Kantor Gubernur Aceh, Senin siang 16 Juni 2025, berubah menjadi pusat gelombang aspirasi rakyat. Di antara lautan massa dan teriakan lantang mahasiswa, berkibar tinggi bendera Bintang Bulan—ikon perjuangan Aceh. Sebuah spanduk besar bertuliskan “Referendum” terbentang di barisan depan, mencuri perhatian siapa pun yang melintas.

Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Aceh Melawan (GAM) memadati kawasan kantor pemerintahan tersebut. Mereka hadir membawa satu tuntutan utama: menolak keras keputusan Menteri Dalam Negeri yang menetapkan empat pulau di wilayah Aceh Singkil sebagai bagian dari Sumatera Utara. Bagi massa aksi, ini bukan sekadar pengalihan administrasi, tapi penodaan terhadap kedaulatan Aceh.

Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Besar—empat pulau yang selama ini diyakini sebagai bagian dari Aceh—kini justru diklaim masuk wilayah Sumut berdasarkan SK Mendagri Nomor 300.2.2.2138 Tahun 2025. Keputusan ini langsung memicu kemarahan, terutama di kalangan mahasiswa dan tokoh masyarakat yang melihatnya sebagai bentuk pengabaian terhadap sejarah dan batas wilayah.

Aksi yang berlangsung sejak pukul 12.22 WIB itu diwarnai orasi penuh semangat dari atas mobil komando. Lagu “Pusaka Nanggroe” menggema, membuat suasana terasa lebih dari sekadar protes administratif. Ini adalah simbol perlawanan identitas. Massa juga terlihat mengenakan atribut dan pakaian berlogo Bintang Bulan, mempertegas bahwa perjuangan ini mengakar dari sejarah panjang Aceh.

Salah satu orator aksi, M. Risky, menyuarakan kemarahan kolektif dari atas mobil komando, “Kami datang bukan hanya karena pulau, tapi demi marwah Aceh yang diinjak-injak. Jika negara ini masih peduli pada perdamaian, kembalikan hak kami atas Pulau Panjang, Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, dan Lipan!”

Yang menarik, kata “referendum” yang dikibarkan dalam spanduk tidak sekadar menjadi teriakan emosional. Dalam konteks Aceh, itu adalah sinyal bahaya. Referendum bukan wacana baru. Ia membawa luka sejarah konflik bersenjata yang menghantui provinsi ini selama puluhan tahun sebelum damai diteken lewat MoU Helsinki. Bahwa kini istilah ini kembali digaungkan oleh generasi muda, menunjukkan bahwa luka lama belum sepenuhnya sembuh.

Di tengah kerumunan, salah satu tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya memberikan pernyataan tegas: “Spanduk referendum itu bukan ancaman. Itu alarm. Jika pusat tidak peka terhadap suara Aceh, maka legitimasi pemerintahan akan terus digugat.”

Tak hanya menolak SK Mendagri, massa juga mendesak Presiden Jokowi agar segera mencopot Mendagri Tito Karnavian, yang dinilai gagal membaca sensitivitas sejarah dan politik Aceh. Nama Tito disebut berulang kali dalam orasi sebagai simbol kekecewaan terhadap Jakarta.

“Kalau empat pulau saja tidak bisa dijaga, bagaimana kami percaya terhadap komitmen pusat untuk menjaga perdamaian?” kata salah satu mahasiswa yang turut dalam barisan aksi.

Aksi ini menjadi pertanda bahwa keretakan antara pusat dan daerah masih nyata. MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) belum sepenuhnya mampu menutup celah ketidakpercayaan. Dan kini, suara-suara perlawanan justru datang dari generasi muda yang lahir pascakonflik—mereka yang seharusnya menjadi generasi damai.

Kibaran bendera Bintang Bulan dan seruan referendum bukanlah nostalgia belaka. Itu adalah kritik tajam terhadap kegagalan sistem otonomi khusus yang belum mampu menjawab persoalan dasar: martabat, wilayah, dan kedaulatan Aceh.

Jika pemerintah pusat tidak segera melakukan pendekatan yang dialogis dan bijak, maka bukan tidak mungkin gelombang aspirasi serupa akan bermunculan kembali. Dan kali ini, bukan hanya menyangkut batas pulau, tetapi juga masa depan Aceh dalam bingkai kebangsaan.

Artikel Terkait

- Advertisment -