-->
24 C
id

Aksi Mahasiswa di Banda Aceh Memanas: Desak Pengembalian Pulau dan Tolak Pembangunan Empat Batalyon

4 Pulau aceh


Suasana halaman Kantor Gubernur Aceh berubah jadi lautan massa pada Senin siang, 16 Juni 2025. Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Aceh Melawan (GAM) menggelar aksi demonstrasi sebagai bentuk protes terhadap keputusan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, yang dinilai kontroversial.

Keputusan yang dimaksud adalah pengalihan empat pulau yang selama ini berada di wilayah Aceh Singkil—yakni Pulau Panjang, Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, dan Pulau Lipan—ke dalam wilayah administratif Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Bagi para mahasiswa, keputusan ini adalah bentuk pencaplokan wilayah yang tidak bisa diterima.

"Hari ini bukan soal kepentingan pribadi, ini tentang mempertahankan kedaulatan Aceh," tegas Ilham Rizky, koordinator aksi.

Dalam aksinya, massa juga mengibarkan bendera Bintang Bulan dan menampilkan aksi teatrikal yang menggambarkan konflik perebutan wilayah. Menggunakan replika senjata kayu, mereka memperagakan adegan baku tembak sebagai simbol perlawanan terhadap kebijakan pusat yang dianggap merugikan Aceh.

Namun, aksi mereka tak hanya soal pulau. Para demonstran juga menyuarakan penolakan terhadap rencana pembangunan empat batalyon baru di Aceh. Menurut mereka, kehadiran militer dalam jumlah besar justru berpotensi mengganggu stabilitas dan mencederai semangat perdamaian yang selama ini dijaga.

“Kalau memang ingin merawat perdamaian, maka jangan hanya berhenti pada retorika. Permanenkan dana Otsus dan batalkan pembangunan batalyon,” ujar Ilham lagi dengan lantang.

Selain mencopot Tito dari jabatannya, mereka juga mendesak agar Pemerintah Pusat menunjukkan komitmen nyata terhadap MoU Helsinki dan hak-hak Aceh sebagai daerah istimewa pascakonflik.

Aksi ini menambah daftar panjang suara-suara dari Aceh yang menuntut keadilan dan otonomi yang lebih dihormati. Gelombang protes yang terus bergulir menunjukkan bahwa isu pengalihan pulau dan pembangunan militer bukan sekadar teknis administratif, melainkan menyentuh soal identitas dan masa depan Aceh sendiri.

Artikel Terkait

- Advertisment -