-->
24 C
id

Aksi Mahasiswa Aceh di Jakarta Desak Presiden Prabowo Cabut SK Mendagri Soal Empat Pulau, Copot Tito dan Safrizal

 

Konflik Pulau Aceh Sumut

Ketegangan seputar status empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara kian memanas. Pada Jumat sore, Persatuan Mahasiswa Aceh Jakarta Raya (PMA-J Raya) menggelar unjuk rasa di depan Gedung Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat. Mereka mendesak Presiden Prabowo Subianto agar segera mencabut keputusan Mendagri terkait alih status administratif Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil dari Aceh Singkil ke Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Massa aksi menilai keputusan tersebut tidak hanya mencederai sejarah dan kedaulatan wilayah Aceh, tetapi juga berpotensi menimbulkan kegaduhan berkepanjangan. Mereka menyampaikan tuntutan secara tegas: batalkan SK Menteri Dalam Negeri Tahun 2025 yang menetapkan kode dan wilayah administrasi empat pulau tersebut.

Tak hanya itu, mahasiswa juga menyoroti peran Gubernur Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), serta anggota DPR dan DPD RI asal Aceh. Mereka mendesak para wakil rakyat agar tidak berdiam diri dan segera mengambil sikap tegas membela hak-hak wilayah Aceh.

Unjuk rasa yang berlangsung damai dan dijaga ketat aparat kepolisian ini akhirnya dibubarkan setelah perwakilan massa diterima oleh staf Kemendagri. Namun, tuntutan mereka tetap bergema. PMA-J Raya juga menyuarakan desakan agar Presiden mencopot Mendagri Tito Karnavian serta Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal ZA, yang dianggap sebagai pihak paling bertanggung jawab atas keluarnya SK tersebut.

Sementara itu, dari pihak Sumatera Utara, Gubernur Edy Rahmayadi menyatakan kesiapan untuk membahas kembali status kepemilikan empat pulau tersebut dengan Gubernur Aceh. Ia bahkan menyatakan keterbukaan jika nantinya pemerintah pusat memutuskan bahwa pulau-pulau tersebut memang sah milik Aceh. Namun, bila tetap berada di bawah administrasi Sumut, ia mengusulkan agar pengelolaannya dilakukan bersama.

Merespons dinamika tersebut, Gubernur Aceh bersama perwakilan DPRA dan DPD RI telah menggelar rapat tertutup pada Jumat malam. Dalam pernyataan resminya, Gubernur Aceh menegaskan bahwa keempat pulau itu merupakan bagian sah dari Aceh, warisan dari leluhur, dan karenanya wajib dipertahankan. Pertemuan lanjutan dengan Menteri Dalam Negeri pun telah dijadwalkan pada 18 Juni mendatang.

“Ini adalah kewajiban kita. Pulau-pulau itu milik Aceh dan harus kita pertahankan. Kita akan membawa bukti sejarah, administratif, dan fakta di lapangan,” tegas Gubernur.

Dari sisi pemerintah pusat, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya mengungkapkan bahwa proses penyelesaian konflik wilayah ini akan dilakukan dengan hati-hati. Ia menyebut, persoalan ini telah berlangsung lama dan melibatkan banyak aspek teknis maupun historis. Dalam waktu dekat, Kemendagri akan menggelar rapat lintas kementerian dengan melibatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial, dan unsur terkait lainnya.

Mendagri Tito Karnavian sebelumnya juga mengakui bahwa batas wilayah darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah memang telah disepakati. Namun, batas laut belum memiliki titik temu yang jelas, sehingga menimbulkan ruang sengketa yang kini memicu polemik berkepanjangan.

Empat pulau yang menjadi sumber sengketa—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—memang memiliki nilai strategis baik dari sisi geografis maupun ekonomi. Pemerintah pusat kini dihadapkan pada tekanan dari berbagai pihak untuk menyelesaikan persoalan ini secara adil dan transparan, demi menjaga stabilitas serta kelangsungan perdamaian di Aceh.

Artikel Terkait

- Advertisment -