Empat Pulau 'Lepas' dari Aceh, Publik Terpukul: Luka Lama Dibuka Kembali oleh Keputusan Mendagri?
Langkah ini tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Bukan hasil perebutan oleh negara asing atau perusahaan multinasional, melainkan produk kebijakan sepihak dari pusat. Banyak pihak di Aceh menyebutnya sebagai “pengkhianatan administratif” yang menyayat luka lama sejarah.
Luka Sejarah yang Belum Kering
Aceh bukan sekadar provinsi. Ini adalah tanah dengan sejarah panjang dan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dari sini lahir dukungan konkret untuk republik, termasuk sumbangan dana rakyat Aceh untuk membeli pesawat pertama Indonesia—RI 001 dan RI 002.
Namun, relasi Aceh dengan Jakarta tak pernah sepenuhnya mulus. Tahun 1950-an, status Aceh sebagai provinsi dihapus dan dilebur ke dalam Keresidenan Sumatera Utara. Keputusan itu memicu pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah pimpinan Tgk. Daud Beureueh. Luka itu semakin dalam seiring meletusnya konflik panjang dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang baru mereda pasca MoU Helsinki tahun 2005.
Kini, keputusan menyerahkan empat pulau ke Sumatera Utara seolah membuka kembali luka lama. Bukan sekadar soal tapal batas, tapi menyentuh martabat, identitas, dan harga diri rakyat Aceh.
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Sengketa batas wilayah Aceh-Sumut sejatinya telah berlangsung sejak lama. Sejak 2022, Kemendagri mulai melakukan verifikasi ulang. Namun, proses ini justru memicu kontroversi. Banyak bukti sejarah dan fakta fisik yang dianggap diabaikan. Padahal, masyarakat Singkil Utara sudah sejak lama membangun dan merawat keempat pulau itu.
Pemerintah Aceh sendiri sudah membangun prasasti di Pulau Mangkir Ketek bertuliskan “Selamat Datang di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Dermaga, rumah singgah, hingga mushalla sudah dibangun sejak 2012. Nelayan dari Tapanuli Tengah pun secara terbuka menyatakan bahwa interaksi sosial dan ekonomi mereka lebih banyak dengan Aceh.
Namun, semua itu tak berarti di hadapan selembar surat dari Jakarta. Dari Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022, hingga yang terbaru: Kepmendagri 300.2.2-2138 Tahun 2025, keempat pulau kini secara administratif “dicabut” dari Aceh dan diserahkan ke Sumatera Utara.
Aksi Protes dan Deklarasi Penolakan dari Rakyat Aceh
Gelombang penolakan pun tak terhindarkan. Ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Masyarakat Aceh Menggugat Mendagri (AGAMM) melakukan aksi pendudukan damai di keempat pulau sengketa. Mereka berangkat menggunakan kapal nelayan dari Pelabuhan TPI Anak Laut, berlayar menuju Pulau Panjang, lalu berkonvoi ke pulau lainnya.
Aksi ini tidak hanya simbolik. Mereka mendeklarasikan sikap penolakan dan menuntut pencabutan Kepmendagri tersebut.
“Masyarakat Aceh menolak dengan tegas keputusan ini. Kami memiliki bukti otentik dan fakta lapangan yang menunjukkan bahwa keempat pulau itu adalah milik Pemerintah Aceh,” tegas Muhammad Ishak, Koordinator Aksi, Selasa, 3 Juni 2025.
Aksi ini dihadiri tokoh-tokoh lokal seperti Imeum Mukim Gosong Telaga, para keuchik, dan Panglima Laot. Hadir pula pejabat dari tingkat daerah hingga nasional: Anggota DPR RI, DPD RI, DPRA, Forkopimda Aceh Singkil, serta jajaran eksekutif dan yudikatif setempat.
Surat Komisi I DPR Aceh ke Mendagri: Sudah Pernah Ditegaskan Sejak 2023
Perlu diketahui, persoalan ini sejatinya sudah menjadi perhatian sejak jauh hari. Pada tahun 2023, Iskandar Usman Al-Farlaky, yang kala itu menjabat Ketua Komisi I DPR Aceh, telah mengirimkan surat resmi ke Mendagri Tito Karnavian untuk memperingatkan agar berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait status keempat pulau ini.
Menurut Iskandar, polemik ini telah berlangsung selama bertahun-tahun. Pemerintah Daerah Istimewa Aceh dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara bahkan pernah menandatangani kesepakatan bersama pada tahun 1992, yang menyatakan keempat pulau itu termasuk wilayah Aceh. Kesepakatan itu ditandatangani oleh Gubernur Aceh saat itu Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar, disaksikan langsung oleh Mendagri Rudini.
Selain itu, salinan surat dari Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Aceh tertanggal 17 Juni 1965 juga mencantumkan nama-nama pulau tersebut dengan penamaan khas Aceh: Pulau Mangkir Rajeuk, Pulau Tjut, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.
“Secara de facto, kehadiran prasasti, dermaga, rumah singgah, dan aktivitas warga Aceh di sana jelas menunjukkan keempat pulau itu adalah bagian dari Aceh. Kami minta Mendagri segera merevisi keputusannya,” ujar Iskandar.
Harapan Rakyat: Anulir Keputusan, Kembalikan Martabat
Rakyat Aceh Singkil kini menggantungkan harapan besar kepada perwakilan mereka di Senayan. Mereka berharap agar DPR RI dan DPD RI segera membawa aspirasi ini ke pusat, demi membatalkan keputusan yang dianggap mengabaikan sejarah dan fakta lapangan.
Empat kapal kayu besar dikerahkan untuk membawa massa dan tokoh lokal. Tiga speed boat khusus disiapkan untuk para pejabat dan legislator nasional yang hadir dalam aksi.
“Kami semua solid. Harapan kami, dengan aksi ini, suara kami bisa sampai ke Jakarta. Jangan biarkan luka lama kembali menganga,” ujar Doni Maradona, Anggota DPRK Aceh Singkil.
Penutup: Jangan Main Api di Negeri yang Pernah Terbakar
Keputusan administratif yang tampak sederhana, bisa menjadi bara dalam sekam di Aceh. Bukan hanya soal batas wilayah, ini soal harga diri, sejarah, dan luka kolektif yang belum sembuh. Pemerintah pusat perlu membuka ruang dialog dan memprioritaskan pendekatan historis serta kultural—bukan hanya teknokratis.
Karena bagi Aceh, tanah bukan sekadar aset. Ia adalah warisan, identitas, dan bagian dari jiwa rakyatnya.